Alquran dan Hadits Sumber Hukum Ajaran Islam
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ
وَبَرَكَاتُه
Alquran dan Hadits Sumber Hukum Ajaran Islam - Secara lughawi (bahasa)
Al-Qur’an akar dari kata qara’a yang berarti membaca, sesuatu yang
dibaca. Membaca yang dimaksud adalah membaca huruf-huruf dan kata-kata antara
satu dengan yang lain. Secara istilah al-quran adalah Kalamullah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Menurut
ahli fiqih, alqur’an adalah kalam allah yang mengandung mukjizat yang diturunkan
kepada nabi muhammad saw, yang ditulis dalam bentuk mushaf berdasarkan
penukilan secara mutawattir dan dianggap ibadah bagi yang membacanya.[1] Menurut
al-qur’an sendiri adalah kalam allah yang diwahyukan kepada nabi muhamad saw
melalui malaikat jibril dengan lafal dan maknanya.
Kesimpulan berdasarkan uraian diatas
kita dapat mendefinisikan alquran yaitu wahyu allah yang diturunkan kepada nabi
muhammad saw. Yang ditulis dalam bentuk mushaf berdasarkan penukilan secara
mutawattir.[2]
Sebagai sumber hukum Islam, al-Qur’ān memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Al-Qur’ān merupakan sumber utama
dan pertama sehingga semua persoalan harus merujuk dan berpedoman kepadanya. Al-Quran berperan penting dalam rangka penetapan hukum Islam
terutama setelah meninggalnya Rasulullah SAW.
Seperti kita
ketahui bahwa Al-Quran merupakan buku petunjuk (hidayah) bagi orang-orang yang
bertakwa yaitu orang-orang yang percaya kepada hal ghaib, yang mendirikan
shalat, yang menginfakkan sebagain rizki mereka, dan yang meyakini adanya
akhirat.
Hal ini sesuai dengan
firman Allah Swt. dalam al-Qur’ān:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي
شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Ta’atilah Allah dan
ta’atilah Rasul-Nya (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.
Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada
Allah Swt. (al-Qur’ān) dan Rasu-Nyal (sunnah), jika kamu beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (Q.S. an-Nisā’/4:59)[3]
A.
Asas-asas pembinaan hukum dalam Al-Qur’an
1.
Asas tidak menyulitkan, Allah menghendaki kemudahan dan sekali-kali
tidak menghendaki kesulitan kepada manusia.
2.
Asas tidak banyak beban, hukum-hukum dalam Al-Quran relatif mudah
dilaksanakan, karena Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan
kesanggupannya.
3.
Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum. Misalnya dalam menetapkan
keharaman minum khamar. Allah menetapkannya dalam tiga tahapan, mengingat
kebiasaan minum khamar sudah begitu tertanam kuat dalam masyarakat Arab
waktu itu.[4]
B.
Bentuk-bentuk penjelasan Al-Qur’an
1. Tafsir bil Matsur
Tafsir bi al-Matsur adalah tafsir yang
berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan
Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan sunna h. Karena ia berfungsi sebagai penjelas
Kitabullah.
2. Tafsir bir Ra’yi
Tafsir bir ra’yi adalah Tafsir dengan ijtihad
dan dengan istimbat, ijtihad disini adalah ijtihad yang baik bukan yang jelek,
karena ijtihad yang jelek dilarang oleh Nabi SAW.
3. Tafsir Isyari
Ajaran Tasawuf dalam tafsir al-Quran dibagi
menjadi dua, yaitu Tasawuf Nadhari yaitu tasawuf yang terbangun di
atas penelitian dan pembelajaran dan Tasawuf ‘Amali yaitu tasawuf
yang terbangun di atas zuhud dan kesusahan. Dua bagian ini memiliki atsar dalam
penafsiran al-Qur’an. Orang sufi membagi tafsir mereka menjadi dua bagian
: tafsir sufi nadhari dan tafsir sufi isyari.
a)
Tafsir
Sufi Nadhari, Tafsir ini terbangun diatas penelitian dan
filsafat. Mereka mendahulukan penElitian dalam memahami makna al quran sehingga
mereka mudah tersesat dalam memahami al-Quran. Ibnu Arabi merupakan syaikh
dalam tafsir ini. Dia banyak menafsirkan ayat-ayat al Qur’an yang sesuai dengan
pandangan filsafat. Dialah orang yang berpandangan wihdatul wujud.
b)
Tafsir
Sufi Isyari, Tafsir ini merupakan penjelasan ayat-ayat al
Qur’an atas perselisihan yang nampak dengan isyarat yang tersembunyi yang
memungkinkan memadukan antara makna yang tersembunyi dengan makna dhahir yang
dimaksud. Menurut kaum sufi, setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin.
Yang zahir adalah yang segera mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang
batin adalah isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat
diketahui oleh ahlinya. Isyarat-isyarat yang terdapat di balik
ungkapan-ungkapan al-Qur’an inilah yang kemudian melahirkan Tafsir Isyari.[5]
C.
Pengertian dan kedudukan Hadits
Secara bahasa, hadits adalah sesuatu yang baru. Secara istilah
hadits adalah perbuatan, perkataan, serta ketetapan-ketetapan nabi muhammad
saw.[6] Hadis mempunyai
kedudukan sebagai sumber hukum islam kedua setelah Al Quran. Karena hadits nabi SAW merupakan penafsiran Al-Quran
dalam praktek atau penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal.
Pada masa
Rasulullah SAW masih hidup, para sahabat mengambil hukum-hukum Islam (syariat)
dari Al-Quran yang kemudian dijelaskan oleh Rasulullah. Hal ini dikarenakan
para sahabat belum mampu untuk menafsirkan ayat Al-Qur’an tanpa bantuan
Rasulullah SAW. Misalnya saja, dalam beberapa tempat terdapat
penjelasan-penjelasan yang diisyaratkan oleh ayat Al-Quran, namun hanya
bersifat mujmal umum atau mutlak. Contohnya perintah tentang shalat yang
diungkapkan secara mujmal, tidak menerangkan bilangan rakaatnya, tidak
menerangkan cara-caranya maupun syarat rukunnya. Penjelasan Rasul sangat berarti
dalam hal ini. Agar para sahabat bisa melaksanakan perintah Allah sebagaimana
yang diharapkan dalam Al-Quran. Dengan demikian jelaslah bahwa hadits Nabi SAW berkedudukan sebagai sumber
hukum Islam kedua setelah Al-Quran. [7]
D.
Fungsi Dan Hubungan Hadits Dengan Al-Qur’an
1.
Hadits berfungsi sebagai penjelas, memerinci yang mujmal
mengkhususkan yang umum. Seperti cara-cara shalat disebutkan dalam hadits,
beberapa barang yang wajib di zakati, dan membatasi wasiat maksimal sepertiga
harta.
2.
Hukumnya sudah disebut dalam Al-Qur’an kemudian Hadits
menguatkannya dan menambahnya. Seperti dalam kasus lian yang sudah
3.
dijelaskan dalam Al-Qur’an kemudian Hadits menyebutkan wajibnya
bercerai antara suami istri yang melakukan lian.
4.
Hadits memberi hukum tersendiri yang tidak terdapat dalam
Al-Qur’an, seperti keharaman memadu seorang wanita bibinya, haramnya memakan
binatang yang bertaring.[8]
Adapun hubungan Al-Qur’an dengan Hadits adalah sebagai berikut
1.
Hadits menguatkan hukum yang ditetapkan Al-Qur’an.
2.
Hadits memberikan rincian terhadap pernyataan Al-Qur’an yang
bersifat Global.
3.
Hadits sebagai sunnah Nabi Saw, merupakan wujud konkret pelaksanaan
hukum ketetapan dari spirit Al-Qur’an.[9]
E.
Syarat-Syarat Hadits Shahih
1.
Sanadnya bersambung
2.
Perawinya adil
3.
Hafalan perawi kuat (dhobit).
4.
Tidak syaz (janggal)
5.
Tidak ber-illat (cacat).
F.
Perbedaan Hadits Shahih Dengan Hadits Yang Tidak Shahih
Perbedaannya yaitu jika tidak memenuhi syarat-syarat dari hadits
shahih maka kualitas hadits bisa jatuh pada keda’ifan. Jadi, untuk mengetahui
hadits tidak shahih seperti halnya, Isinya kacau atau tidak beraturan, lemah
ingatan, dan perawinya tidak bertemu langsung dengan Nabi.
Semoga bermanfaat dan menambah
wawasan kita semua
Terima kasih dan mohon maaf. Minta
rela.
وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ
وَبَرَكَاتُهُ
Komentar
Posting Komentar