Ujian Akhir Semester STIT SMN Tabalong Part 2
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ
وَبَرَكَاتُه
UAS Part 2 - Alhamdulillah pada hari ini selasa 07 Januari 2020 adalah hari kedua saya menjadi pengawas Final test. Suasana dalam ruangan final test seperti kemarin yaitu tertib, aman dan tidak ribut. Dengan suasana tersebut Final test berjalan dengan sukses dan lancar. Kali ini saya mengawas mata kuliah Fikih. sedikit membahas tentang Fikih.
Dalam penjelasan ini, kita membahas pengertian fikih secara definitif dengan harapan bisa memberikan pemahaman kepada kita tentang hakikat fiqih tersebut.
Fikih
adalah produk tafsir ulama dari dalil-dalil syariat yang ada, baik al-Qur’an,
hadis maupun ijma’ dan sumber hukum lainnya yang secara rasional dan obyektif
dapat dijadikan sebagai sarana menentukan hukum tertentu berdasarkan dan sesuai
konteks di mana ia muncul.
Hal
inilah yang kemudian menyebab adanya perbedaan mazhab, dan bahkan adanya
perbedaan fatwa dalam mazhab yang sama.
Imam Abu Ishak As-Syirazi menerangkan sebagai berikut:
والفقه معرفة الأحكام الشرعية التي طريقها الاجتهاد
Artinya, “Fiqih ialah pengetahuan tentang hukum-hukum syariat melalui metode ijtihad,” (Lihat Abu Ishak As-Syirazi, Al-Luma’ fî Ushûlil Fiqh, Jakarta, Darul Kutub Al-Islamiyyah, 2010, halaman 6).Final Test Part 3
Permasalahan
yang harus kita pahami jika membaca fikih adalah pengetahuan intensif bahwa
fikih bukanlah produk yang merupakan manifestasi “hukum Allah” secara absolut,
akan tetapi ia adalah interpretasi dari ayat-ayat Allah, baik dalil naqli
maupun aqli.
Kita
harus menyadari bahwa fikih adalah produk budaya muslim, di mana ia merupakan
hasil dari proses memahami kalam Allah yang dalam perjalanannya berinteraksi
dengan kondisi social-masyarakat tempat produk fikih tersebut muncul.
Dengan
kata lain, pertemuan horizon teks dengan horizon masyarakat khususnya mujtahid
sebagai penafsir akan mengalami proses lokalitas dan distorsi makna-meskipun
dianggap benar-dari makna-makna Asli al-Qur’an dan Sunnah, karena pada dasarnya
pengtahuan manusia terbatas jika dibandingkan dengan pengetahuan Tuhan.
Mungkin
akan muncul pertanyaan, mengeapa harus memahami hakikat fikih yang telah
penulis sebutakn sebelumnhya? Hal ini penting dipahami dan dipelajari agar
tidak terjadi “sakralitas pemikiran”, dalam artian sebenarnya suatu gagasan
atau pemikiran tersebut sebenarnya merupakan tafsiran subyektif mengenai kalam
Tuhan dan bukan makna sesungguhnya-dan kita tidak bisa memastikan-dari
kalamullah.
Dengan
demikian, kita harus membedakan kedudukan fikih dan dalil-dalil syariat baik
al-Qur’an maupun hadis, agar fikih dipahami secara flexible, dinamis dan
kontekstual.
Sehingga
istilah al-Qur’an shalihun likulli zaman wa makan bisa tercapai, karena fikih
yang kita fahami tidak terkungkung realitas dan konteks masa lalu dan bisa
membumi dengan konteks kekinian. Wallahu a’lam
Semoga bermanfaat dan menambah
wawasan kita semua
Terima kasih dan mohon maaf.
وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ
وَبَرَكَاتُهُ
Komentar
Posting Komentar